SEJARAH DESA PURWOSARI


Purwosari adalah sebuah sinonim yang konotasinya kadang berbeda memaknainya ada yang sekedar mengartikan pada awalnya ramai, ungkapan makna dari Purwosari diambil dari Purwo artinya Wiwitan  dan Sari  artinya Ramai. Purwosari dimaknai apapun yang terjadi diawal pasti ramai akan tapi setelah berjalannya waktu akan sepi dengan sendirinya. Banyak hal yang direncanakan pasti akan disengkuyung dan didukung secara sepontan sak yek sa eko kapti sehingga ramai tapi dengan berjalannya waktu akhirnya akan mereda dan terlupakan seperti kesenian lokal sebagai contoh nyata awal dibentuk atau didirikan ramai banyak sokongan swadaya tapi dengan berjalannya waktu akan redup bosan dan akhirnya bubar. Paradigma yang terjadi dengan bergantinya generasi hal itu lama kelamaan berubah karena adanya komitment, sumber daya manusia yang mumpuni dan perencanaan yang lebih baik.

Pada suatu saat akhir abad 19 kedatangan koloni dari beberapa daerah di Keraton Surokarto Jawa Tengah dan Jogjakarta, awalnya adalah pengembara lewat singgah dan berhuma serta membuat pemukiman untuk bercocok tanam dan berladang di sekitar wilayah kauman dan ndawung. Saat itu koloni dari Keraton Surokarto dipimpin oleh seorang yang bernama Raden Joyodiningrat bersama serta keluarga yang dikawal Suro menggolo dan Joyo drono ( Kyai Gandek / simbah sotho galeng ) yang bertujuan kedaerah Kedu untuk bertemu Ki Ageng Makukuhan akan tetapi istri Raden Joyodiningrat kondisinya sakit maka diputuskanlah istri Raden Joyodiningrat untuk tinggal sementara dan ditemani oleh kedua putranya, penderek (dayang) dan salah pengawalnya yaitu Joyo Drono ( kyai gandek/ simbah sotho galeng). Raden Joyo diningrat melanjutkan perjalanan ke Kedu dengan dikawal oleh Suro Menggolo.

Untuk menyambung hidupnya joyo drono bercocok tanam dan membuat bedengan untuk sawah dengan cara membuat bedengan (galengan) dan membuat parit dengan menggunakan siku (sotho) maka terkenalah ia dengan sebutan simbah sotho galeng. Pada saat membuat galengan atau parit selalu saja setiap ditinggal galengan air merembes sehingga di tambal dengan jenang katul dan dibuatkan sedekah berupasesaji  bebek yang dilemeng (dibakar dalam bambu muda).  Sejak saat itulah Kepala Desa Purwosari yang menjabat selalu menggelar tradisi Bebek Lemeng setiap hari Jumat legi dibulan Safar setiap tahunnya yang lestari sampai saat ini.  Sepulangnya dari kedu Raden Joyodiningrat bermukim didaerah Ngentak/trayu sekarang dikenal Dusun Purwosari 3 dan sering bertapa di Gua pertapan gumuk sepethek ( situs pertapan guo Watu Paruk). Beliau Raden Joyo diningrat bertapa selalu ditemani dan ditunggu hewan peliharaan seekor Harimau putih. Raden Joyo diningrat wafat dan dimakamkan di Watu joyo daerah sepethek sekarang dikenal Gumuk petek atau Dusun Tegalsari. Setelah wafatnya Raden Joyo diningrat mbok rondo dadap hidup dengan anaknya, dayang dan Suro menggolo dengan berhuma dan bercocok tanam didaerah dadap/ kauman/ Purwosari 2 dengan adanya peninggalan watu lumpang (menumbuk padi), dung kwali (belanga) dan prasati watu wayang yang digambar oleh putera mbok rondo dadap diatas sebuah batu pipih didaerah aliran sungai ki angkong.

Pada tahun 1915 datanglah koloni penduduk sejumlah 10 KK dan sebanyak 23 jiwa, kemudian pada tahun 1930 setelah Merapi meletus datang lagi sejumlah 35 orang dari Kawasan Merapi. Mereka datang dan membuat pemukiman didaerah Ngluwok dan sebagian koloni tinggal didaerah sumber Kramat. setelah tigabelas tahun berturut turut jumlah penduduk semua 195 KK sama dengan 460 jiwa selain penduduk mukim ditambah koloni dari migrasi Merapi dan pelarian belanda yang mengungsi yang ikut membuka dan menggarap tanah yang telah disediakan oleh pemerintah seluas 110 Ha.

 

Desa Purwosari menurut cerita masih berkaitan dengan Desa Pendowo, Desa Nglorog dan sekitarnya. Nama Purwosari dicetuskan oleh lurah Trayu yaitu Mbah Dongkol ( -1927), makna dari Purwosari diambil dari Purwo artinya Wiwitan  dan Sari  artinya Rame. Purwosari dimaknai apapun yang terjadi diawal pasti ramai dan tapi setelah berjalannya waktu akan sepi dengan sendirinya. Desa Purwosari resminya bersatu atau bergabung terjadi pada waktu dialami oleh Lurah Kerto Ali Sandjojo ( 1927 -1940) dengan Carik simbah Wongso Diwirjo   (Djarum). 

Pada tahun 1920-1927 Lurah dijabat oleh Mbah Dongkol yang administrasinya mengikuti Desa Trayu Pada tahun 1920 -1927 diadakan penggabungan Desa Trayu meliputi Bonsalak, Ndawung (Purwosari 1), Kauman ( Purwosari 2), Trayu (Purwosari 3) Gumuk Sepethek (Tegalsari),  Miri dan Ngluwok. Dusun Miri pada tahun 1944 hanya tinggal 9 Rumah karena sebagian masyarakatnya mulai pindah ke daerah Trayu, Kauman, Getasan dan sebagian ke bonsalak dan pada tahun 1949 Dusun Miri terakhir sudah kosong tidak berpenghuni. Sedangkan Dusun Ngluwok tahun 1959 tinggal dihuni 5 Kepala keluarga dan pada tahun tersebut bekel yang berkuasa meninggal dunia dan mulai tahun 1960 warga ngluwok mulai bermigrasi pindah ke dusun Giri, Nogiri, Slagen dan Temandang. Pada tahun 1962 hanya tinggal 1 Kepala Keluarga yang tinggal di Dusun Ngluwok, yang kemudian atas inisiatif warga dusun Miri Mbah Sastro di pindah rumahnya ke dusun Giri. Desa Ngancar meliputi Ngancar, Gintungan, Grajegan dan dawunan. Pada saat gabung dengan Desa Purwosari, karena jarak dan pertimbangan geografis Dusun Grajegan dan Dawunan bergabung dengan Desa Nglorog. Desa Kebontengah yang dipimpin oleh Lurah Kuncung meliputi Kebontengah, Mranggen, Sarangan dan Gemawang bersepakat menggabungkan wilayah menjadi 1 Desa dengan nama Desa Purwosari dengan luas wilayah 660 Ha. Tahun 1928 setelah Lurah  Mbah Dongkol meninggal dunia tahun 1927 dan yang dipercaya untuk menjabat sebagai Lurah adalah Simbah Kerto Ali Senjoyo sampai dengan tahun 1940. Pada saat jaman simbah lurah Kerto Ali Senjoyo ada satu keluarga yang bernama kebon dan ori yang punya pekerjaan menggarap sawah pada saat musim kemarau tiba dan sulitnya air untuk mengairi sawah. Maka dua saudara ini saling berbagi air untuk mengairi sawah mereka masing – masing. Namun karena semakin hari air yang ada semakin berkurang dan timbulnya iri serta curiga mereka akhirnya berebut air yang ada. Dan suatu saat bertemulah kedua saudara tersebut disawah dan bertengkar yang akhirnya bertanding untuk berebut air sampai akhirnya mereka berdua meninggal bersama-sama (sampyuh). Keduanya dimakamkan secara terpisah. Mbah Kebon dimakamkan di Pancaksuci Dusun Kebontengah dan Mbah Ori di makamkan di Bonori Dusun Kerengan Desa Kramat. Peristiwa tersebut terjadi di bulan safar hari jumat legi yang diperingati sampai saat ini. Setelah Simbah Kerto Ali Senjoyo meninggal dunia, selanjutnya Lurah dijabat oleh Simbah Karto Atmojo ( Putra Mbah Dongkol) menjabat dari tahun 1941-1979 dengan Carik Simbah Wongso Diwiryo (Jarum) selama 10 tahun sampai 1951 dan diganti carik Sastro Mihardjo (Djajus) pada tahun (1951-1953) karena carik Sastro Mihardjo tidak sanggup melanjutkan tugasnya maka diganti oleh Carik Hadi Utomo (1954 -1986). Pada tahun 1968 simbah Lurah Karto Atmodjo melakukan pekerjaan besar dengan membuat bendungan atau dam dawuhan dan membuat saluran air atau wangang yang telah dirintis oleh pendahulunya simbah sotho galeng yang berfungsi mengalirkan air sungai ke Desa. Selain dimanfaatkan untuk mengairi sawah, air juga dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan sehari-hari. Pekerjaan dan mahakarya lain dari simbah lurah Karto Atmojo gugur gunung membuat jalan besar (dalan gedhe) yang sekarang menjadi jalan utama desa dan juga membuat bale deso dengan mengajak senkuyungnya warga kerja bakti gotong royong secara bergantian. Beliau juga menanam tonggak pohon beringin sebagai tetenger desa yang keberadaannya masih berdiri kokoh dan rimbun di depan Balai desa. Pada jaman keemasan diawal tahun 1960 Desa Purwosari dan wilayah sekitar mulai tumbuh subur pohon khas pegunungan yaitu Pohon aren atau Enau dan pohon durian. Dengan banyaknya populasi pohon aren masyarakat Desa Purwosari mempunyai keahlian dalam memanfaatkan dan mengolah nira aren menjadi Legen ,gula aren dan gula semut aren dan menjadi sentra penghasil gula aren.

 Begitu juga buah durian menjadi kampiun buah lokal unggulan yang mulai dibudidayakan secara masal dengan teknik sederhana dan tradisional. Sejak banyaknya buah durian dipasaran dan dikenal, Desa Purwosari secara perlahan-lahan mulai dikenal secara luas keberadaannya dengan nama Desa Trayu. Tahun 1979 Simbah Karto Atmojo meninggal dunia di usia 67 tahun.

Tahun 1980 diadakan Pemilihan Kepala Desa dan dimenangkan oleh Imam Supomo (Putra Lurah Karto Atmojo) dengan carik/sekdes Hadi Utomo sampai dengan tahun 1986. Hadi Utomo sebagai Carik sampai tahun 1986 dan digantikan oleh Subagiyana. Pada saat Kepala Desa di jabat oleh Imam Supomo pada tahun 1983 program pemerintah untuk meratakan pertumbuhan ekonomi diperdesaan dilaksanakanlah program padat karya dengan membangun jalan utama desa dengan ditelasah sehingga desa  bisa diakses oleh kendaraan untuk mengangkut hasil bumi ke pasar Kranggan. Karena desa Purwosari masih belum dialiri listrik maka tahun 1986 didukung dan dimotori KKN UGM  Pemerintahan Desa dan Masyarakat sepakat iuran swadaya untuk membuat pembangkit listrik tenaga air /kincir air. Tetapi debit air yang tidak stabil dan teknis yang tidak berkesinambungan maka program listrik tenaga air hanya berjalan selama kurang dari satu tahun. Selanjutnya tahun 1989 desa Purwosari mendapatkan Program Listrik masuk desa dan Desa Purwosari secara bertahap sudah bisa merasakat penerangan listrik dan manfaat energi listrik sejak tahun 1989. Desa Purwosari waktu itu masih masuk wilayah Pemerintahan Kecamatan Temanggung wilayah Kemantren dengan perwakilan pemerintahan di Kranggan.

Pada tahun 1990 Karno Budi Riyanto, S.Pd menjabat kepala Desa selama 2 periode sampai tahun 1999 untuk periode pertama, dan periode selanjutnya tahun 1999 sampai 2007 dan didampingi Subagiyana sebagai Sekretaris Desa. Pemerataan pembangunan dilakukan pengerjaan aspal jalan dari Kranggan sampai perbatasan wilayah Kecamatan Pringsurat pada tahun 1989. Pada waktu itu tahun 1991 Pemerintah Kabupaten Temanggung melakukan pemekaran wilayah Kecamatan Temanggung  dimekarkan menjadi Kecamatn Kranggan yang terdiri dari 13 Desa resmi menjadi Kecamatan ke-13. Desa Purwosari  termasuk salah satu Desa di wilayah Kecamatan Kranggan. untuk dari Peraturan pada waktu itu Kepala Desa maksimal menjabat selama 2 periode. Kemudian pada tahun 2007 Kepala dijabat oleh  Pratiknyo sampai tahun 2013. Karena masalah administrasi Subagiyana sebagai Sekretaris Desa Purwosari sampai 2012 dan di Mutasi ke Desa Gandon Kecamatan Kaloran kemudian digantikan oleh Walyono, SE sebagai Sekretaris Desa PNS. Desa Purwosari terus berkembang dengan Kepala Desa Slamet, A.Md menjabat Kepala Desa selama 2 periode Tahun 2014 sampai 2019 dan pada tahun 2016 ada Peraturan Sekretaris Desa tidak dijabat PNS sehingga dilaksanakan Pengangkatan Perangkat Desa untuk formasi Sekretaris Desa yang terpilih sebagai Sekretaris Desa adalah Tri Rahono dan Kepala Desa dijabat oleh Slamet, A.Md untuk periode kedua tahun 2020 sampai sekarang, kemudian Desa Purwosari terus berkembang dengan Pimpinan/ Lurah/ Kepala Desa :

Tahun (1920-1927) Mbah Dongkol

Tahun (1928-1940) Simbah Ali Senjoyo dan Sastro Diwiryo 

 (Jarum) serta Sastro Miharjo sebagai Carik

Tahun (1941-1979) Simbah Karto Atmojo dengan , Sastro Miharjo dan Hadi Utomo  sebagai Cariknya

Tahun (1980-1989) Imam Supomo  dan Hadi Utomo sebagai carik

                              dan Tahun 1986 Sekdes diganti Subagiyana

Tahun (1990-1999) Karno Budi Riyanto dan Subagiyana sebagai 

   sekdes

Tahun (2099-2007) Karno Budi Riyanto dan Subagiyana sebagai

   sekdes

Tahun (2007-2013) Pratiknyo dan Subagiyana sebagai sekdes

   sampai tahun 2012 digantikan Walyono, SE

Tahun (2014-2019) Slamet, AMd dan Walyono, SE sebagai sekdes

dan Tahun 2016 Sekdes digantikan Tri  Rahono

Tahun (2020-Sekarang) Kepala Desa terpilih dijabat Slamet, AMd dan Tri Rahono sebagai Sekretaris Desanya.

Demikian sepintas cerita berdiri dan berkembangnya masyarakat yang berdomisili dan berkembang biak disebuah kawasan sebelah timur kota Temanggung yang diberi nama Desa Purwosari.

 

 

Dinarasikan dan disusun oleh Tri Rahono 

Nara sumber

 Bapak Hadi Utomo ( mantan carik/ usia 94 tahun);

 Noto Suwito ( saksi hidup warga miri );

Dahono ( saksi hidup warga Ngluwok );

Jatmiko ( Pengrawi legenda desa dan asal usul desa);

Mubiun ( Tokoh adat desa);

chat